(Ambin Demokrasi)
Banjarmasin, Warta Global Kalsel
Ada satu jenis pajak yang berlaku cukup lama, namun dari waktu ke waktu, terasa aneh, memberatkan dan bahkan perlahan mengeliminasi Warga dari tanahnya sendiri.
Karena sudah sangat lama, pajak itu boleh jadi paling popular di telinga Warga di antara jenis pajak lainnya. Namanya PBB, singkat dari Pajak Bumi Bangunan.
Kenapa terasa aneh? Karena pajak ini memungut setiap tahun kepada Warga. Padahal tanah dan bangunannya milik Warga. Waktu membeli pakai uang Warga, dan tidak ada bantuan apapun dari Pemerintah.
Warga juga merawat dan menjaga tanah tersebut, tanpa peran Pemerintah. Pendek kata, tidak ada andil sama sekali dari Pemerintah atas tanah dan bangunan yang dimiliki Warga, namun kenapa harus membayar pajak setiap tahun? Pertanyaan yang muncul, apa peran dan jasa Pemerintah terhadap tanah dan bangunan, sehingga Warga harus membayar pajak setiap tahun?
Kalau dibandingkan dengan pajak atau retribusi lainnya, pemerintah memberikan jasa, dan atas jasa tersebut warga membayar pajak. Pajak kendaraan misal, pemerintah membangun jalan, jembatan, menyediakan petugas pengatur, dll, yang kesemuanya terlihat jelas bentuk jasa yang diberikan, sehingga untuk itu pajak harus dibayar. Pun seperti retribusi sampah, pemerintah pengelola dan mengolah sampah, sehingga lingkungan tetap bersih dan atas jasa tersebut warga membayar retribusi.
Sedangkan PBB, adakah yang bisa menjelaskan jasa apa yang diberikan Pemerintah sehingga pajak atas tanah dan bangunan yang kita beli dengan uang sendiri, harus terus dibayar setiap tahun?
Besaran PBB itupun secara berkala naik, mengikuti NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak). Bahkan karena mengacu pada NJOP, di masing-masing lokasi besaran pajaknya berbeda-beda. Di kawasan strategis seperti di jalan utama, besaran PBBnya lebih mahal dari pada di pinggiran Kota. Begitu juga di kawasan pertumbuhan sentra ekonomi, PBBnya selangit, hampir tak terjangkau untuk Orang berpenghasilan rendah.
Apa dampaknya bila PBB terus naik dan mengikuti NJOP? Warga tereliminasi dari lingkungannya sendiri. Karena tidak mampu membayar pajak, akhirnya tanah dan bangunan di jual. Lalu memilih tinggal di pinggiran yang pajaknya lebih rendah. Lantas, pada Kawasan-kawasan strategis hanya mampu dihuni oleh Orang-orang Kaya, Warga Asli tersingkir, tereliminasi pada Kampung-kampung di sudut Kota.
Karena jenis pajak ini dirasa tidak rasional, karena tidak ada jasa apapun yang diberikan kepada Warga atas tanah bangunan yang dimilikinya. Serta berpotensi mengeliminasi warga dari tanahnya sendiri dan hanya memberi tempat pada yang berduit, maka Saya menyarankan Pajak Bumi Bangunan dihapus saja.
Kalau Pemerintah mampu melakukannya, maka satu kebijakan yang berpotensi memberatkan dan mendiskriminasi serta mengeliminasi Warga dari tanahnya sendiri, bisa dicegah.*****
KALI DIBACA