
Banjarmasin, Warta Global Kalsel
(Ambin Demokrasi)
Kami semua duduk lesehan di ruang Gramedia Veteran, mendiskusikan buku yang ditulis Dr. Mohammad Effendy, SH, MH, berjudul Demokrasi di Atas Kapal Karam. Beliau mengilustrasikan keadaan demokrasi di Indonesia, seperti berada di atas kapal karam. Artinya, sebagus apapun aturannya, sebaik dan semumpuni apapun penyelenggaranya, ketika berada di atas kapal karam, semuanya menjadi panik, kalangkabut dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Apalagi ketika aturannya dimanipulasi dan integritas penyelenggaranya meragukan, semakin kusutlah persoalan. Dan yang terjadi, demokrasi hanya memprioritaskan para Penumpang utama, yaitu para elit oligarki yang bisa membayar segalanya agar bisa selamat di atas kapal karam.
Ilustrasi tentang demokrasi laksana berada di atas kapal karam ini, mendapat tanggapan yang sangat menarik dari peserta diskusi yang hadir. IBG Dharma Putra, seorang yang sarat pengalaman di Birokrasi. Berkomentar, kalau memang keadaannya seperti itu, lantas kenapa kita masih ngotot dengan demokrasi? Jangan-jangan ada sistem yang lebih oke ketimbang demokrasi? Sebab, semua teori yang bagus-bagus menyangkut sistem demokrasi, dan terbukti praktiknya berjalan baik di Negara lain, setelah diterapkan di Indonesia, kenapa justru kemudian menjadi buruk dan mudah dimanipulasi? Kenapa tidak mencoba sistem lain? Mungkin ada sistem yang membuat seluruh Warga menjadi sejahtera?
Fahrianoor, Doktor Komunikasi Politik dari Fisip ULM, memberikan pendapat bahwa buku yang ditulis Mohammad Effendy, telah memaparkan secara gamblang tentang praktik demokrasi yang berbeda dengan teori-teori di bangku-bangku kuliah, karena berangkat dari realita dan ternyata segala teori yang bagus tentang demokrasi tersebut, instrumennya tidak cukup siap dalam menjalankannya. Terutama menyangkut Institusi demokrasi, dimana sebagian dari Institusi yang semestinya bekerja mengawal dan menjalankan demokrasi, nyatanya korup dan sangat bermasalah.
Dengan segala keburukan situasi demokrasi, kenapa Bapak Mohammad Efendy masih bisa santun dalam memberikan kritik? Mestinya dengan keadaan yang begitu buruk seperti ini, kemarahan Bapak tergambar secara lugas. Buku ini terlalu santun dalam mengkritik, padahal situasinya sangat mengecewakan, kata Naufal Lisna Reisya yang didaulat sebagai pemantik mewakili Anak Muda.
Lain lagi dengan Dr Ratna Sari Dewi, seorang Jurnalis yang baru saja meraih gelar Doktor Komunikasi. Dia berpendapat, uraian yang disampaikan Mohammad Effendy memperlihatkan bahwa Beliau “nyesek”, terasa ada perasaan “sangkal” dalam hati. Hal tersebut juga tergambar dari judul pertama tulisan dari buku ini, bertema ‘Independensi Penyelenggara Pemilu di Tengah Arus Besar Kekuasaan’, seolah menegaskan bahwa biang segala persoalan demokrasi yang buruk ini, berasal dari Sumber Daya Manusianya, yaitu Penyelenggara Pemilu. Seandainya Penyelenggara Pemilu berintegritas dan tidak tunduk pada kuasa modal, pastilah demokrasi, khususnya Pemilu, masih bisa dikawal dengan baik.
Semua yang hadir dan memberikan pendapat, sepertinya sepakat bahwa demokrasi di Indonesia berjalan begitu buruk. Benar ada peraturan dan Institusi demokrasi, namun semuanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Segalanya dimanipulasi, dipalsukan, dikacaukan untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk membangun kesejahteraan bersama.
Dalam situasi seperti ini, semua orang seperti berebut “skoci” di atas kapal karam. Dan pemilik skoci yang paling prioritas adalah oligarki, yang dengan mudah membeli segalanya untuk keselamatan dirinya sendiri.
Diskusi-diskusi kecil menyangkut demokrasi dan memperbincangkan berbagai situasi Negeri secara kritis seperti ini, bukan dalam rangka turut berebut skoci, tapi berusaha memperbaiki kapal karam.
Jangan berputus asa, perubahan besar menyangkut demokrasi dan politik yang ada di dunia ini, termasuk segala bentuk revolusi dan reformasi di berbagai Negara, dimulai dari diskusi-diskusi kecil yang mewadahi segala kegelisahan Warga, yang kemudian berubah menjadi Gerakan Masyarakat Sipil. (nm)
KALI DIBACA