Banjarmasin, WARTA GLOBAL - Melihat dinamika proses pencalonan Pilkada Gubernur Kalimantan Selatan, sepertinya hanya ada dua pasang bakal calon Gubernur. Seandainya ada calon lainnya, maka mungkin akan menjadi alternatif. Apalagi bila calon tersebut tidak bersumber dari “restu” yang sama, pasti semakin menarik dari sisi demokrasi.
Namun apa mau dikata. Tidak ada partai politik yang berani berpikir alternatif. Semuanya terbawa skenario, hanya ada dua pasang calon dan partai-partai tinggal merapat di antara keduanya, atau bahkan sudah diarahkan sesuai “petunjuk” atau koalisi pemilu sebelumnya.
Dengan hanya dua pasang calon, tentu tidak banyak kebebasan dalam memilih. Kebebasannya terbatas sesuai jumlah pasangan calon yang tersedia. Kalau keduanya semakin menampakkan diri bersumber dari “restu” yang sama, maka besar kemungkinan melahirkan golput, yaitu golongan yang merasa tidak terwakili di antara kedua pasangan calon tersebut dan menetapkan diri tidak ikut memilih.
Apalagi bila keduanya “bermain mata”, menjadikan Pilkada sekedar arena negosiasi kepentingan, entah kepentingan bisnis atau kepentingan politik, sehingga keduanya sama-sama menang, sama-sama beroleh keuntungan.
Kecuali keduanya menampakkan pembeda, maka barulah yang terjadi pertarungan head to head. Suatu kompetisi yang sengit untuk saling unggul berebut kemenangan, walau dampaknya pemilih terbelah menjadi dua kubu – dua opsi yang merasa berbeda satu dengan lainnya.
Titik krusial pertarungan head to head ada pada penyelenggara, dalam hal ini tentu saja KPU dan Bawaslu. Diharapkan penyelenggara dapat menempatkan diri secara netral, tidak memihak, tidak mau dipesan memenangkan salah satu pasangan, dan berani melakukan tindakan apabila terdapat kecurangan.
Titik krusial lainnya ada pada aparat keamanan. Kalau aparat tetap memegang komitmennya untuk berlaku jujur, netral dan adil, maka Pilkada pasti berlangsung lebih baik dan berkualitas. Tidak sekedar memenuhi prosedural semata. (nm)
KALI DIBACA